Muhammad Firman

Putaran Roda Nasib Nvidia

CUDA Nvidia.
Sumber :
  • U-Report

VIVA – Hidup ibarat roda yang berputar. Kadang di atas, kadang di bawah. Pepatah ini ternyata juga berlaku di dunia teknologi, khususnya komputer. Kali ini korbannya adalah Nvidia. Salah satu pelaku utama di industri komputer tersebut kini sedang mengalami masa-masa sulit.

Tiga Mahasiswa ITB Wakili Indonesia di Ajang Brandstrom di Inggris

Masih teringat dalam benak kita pada tahun 2005-2006 produk-produk buatan produsen asal Santa Clara, California tersebut merupakan produk unggul di pasar. Kala itu, di bidang chipset untuk motherboard, nForce buatan Nvidia merupakan raja di kelas performa. Chipset nForce 680i bahkan pernah disebut sebagai chipset terbaik untuk platform Intel berbasis prosesor Core 2. Performanya tinggi. Kemampuan overclock-nya juga lebih baik dibanding chipset buatan Intel sendiri.

Demikian pula di bidang chip grafis. Beberapa tahun terakhir, VGA yang menggunakan chip GeForce merupakan barang laris di pasaran.  Semua karena GeForce dikenal memiliki kinerja lebih baik  untuk game dibanding ATI Radeon. Nvidia juga berhasil meyakinkan sejumlah produsen game agar membuat game buatannya tampil optimal sewaktu dimainkan dengan VGA seri GeForce.

Daftar Harga iPhone per 9 April 2024, Ada Diskon 40 Persen

Kini kondisinya berbalik. Nvidia terancam terkucilkan di bidang chipset motherboard dan solusi grafis buatan mereka sedang mengalami masalah di sana sini.

Chipset Nvidia
Di bidang chipset, nasib Nvidia terancam oleh Intel. Pasalnya, mereka ngambek kepada Nvidia yang tidak bersedia memberikan kemampuan SLI untuk produk buatannya. Platform PC yang memiliki fitur SLI hanya dimungkinkan jika chipset yang digunakan adalah buatan Nvidia.

Ini Dia Bagaimana Pencetakan 3D Bisa Membantu Banyak Bisnis Indonesia

Akibatnya, produsen utama prosesor itu mengancam tidak akan memberikan ijin kepada Nvidia untuk membuat chipset bagi prosesor Intel yang akan datang.

Kalau sampai hal tersebut terjadi, pilihan yang tersedia untuk Nvidia hanyalah membuat chipset untuk prosesor AMD saja. Tapi itupun bukan jalan keluar yang baik. Di bidang chipset untuk sistem AMD, Nvidia juga tidak bisa begitu saja menguasai pasar karena AMD sendiri sudah memiliki juga divisi untuk chipset sendiri. Setelah mereka mengakuisisi ATI tahun 2006.

Chipset buatan Nvidia yang saat ini beredarpun sedang terhantam masalah. Terutama di sisi panas yang berlebih ketika bekerja. Keputusan mereka untuk menanamkan solusi grafis di chipset yang mereka luncurkan membuat chip northbridge dari Nvidia semakin tinggi suhunya. Alih-alih merebut hati pengguna karena chipset mereka sudah dilengkapi GeForce terintegrasi, pengguna yang akan membeli mungkin akan berpikir duakali. Pasalnya, untuk mengatasi panas itu sendiri bisa membutuhkan biaya ekstra. Padahal, sebagian besar pengguna yang mencari solusi grafis terintegrasi biasanya adalah pengguna yang berduit sedikit.

Demikian pula di segmen notebook. Sejumlah produsen kelas atas, sebut saja Sony, Dell, dan HP, Apple, mengalami masalah overheat dan throttling (kecepatannya turun) pada beberapa jajaran produknya. Ketika ditelaah lebih lanjut, jajaran produk yang bermasalah adalah yang menggunakan chip Nvidia atau grafis GeForce di dalamnya. Khususnya grafis berbasis G84 dan G86 (GeForce 8300 sampai 8600 series).

Yang paling dirugikan di sini tentunya adalah produsen notebook. Mereka terpaksa harus menarik atau mengganti produk-produk yang bermasalah. Kalau tidak, tentu komplain dari pengguna sampai kehilangan pelanggan akan mereka hadapi. Bila tidak mengambil sikap yang mampu meredakan masalah, Nvidia tentu akan ditinggalkan oleh klien-klien besar tersebut.

Sebagai sikap tanggungjawab, Nvidia menyiapkan budget 150 sampai 200 juta dolar AS untuk mengganti kerugian yang diderita partnernya. Meski di periode sebelumnya Nvidia mampu meraih keuntungan hingga 1,1 miliar dolar, tetap saja ganti rugi itu cukup mempengaruhi keuangan perusahaan. Dana yang seharusnya bisa digunakan untuk menambah budget riset dan penelitian, tidak bisa digunakan. Padahal, kompetitor berat mereka yakni ATI sedang mengancam. Belum lagi citra perusahaan yang tercoreng dan berefek pada harga saham yang terganggu.

Jen-Hsun Huang, Presiden dan CEO Nvidia Corp. mengatakan bahwa permasalahan yang mereka hadapi saat ini hanya pada beberapa chip notebook saja. "Hal ini tidak terjadi pada seluruh chip kami, dan ini juga tidak terjadi pada sebagian besar notebook yang beredar." Menurutnya, masalah juga hanya muncul di beberapa produk dari seri tertentu yang sudah dipasarkan. Dana yang mereka siapkan juga seharusnya sudah cukup ununtuk mengatasi masalah yang timbul.

Chip Grafis
Di bidang VGA, produk GeForce yang beberapa waktu lalu menjadi pilihan utama, kini banyak dikritik. Meski sudah mengalami beberapa perbaikan dan meluncurkan seri terbaru, kinerja VGA barunya tidak meningkat secara signifikan. Malah, panas yang dihasilkan semakin sulit diatasi. Padahal proses produksi GPU sudah diperbaiki.

Jajaran G92 alias GeForce 8800 series yang sebelumnya yang sangat mendominasi mulai tersudut ketika AMD meluncurkan RV770 atau yang dikenal dengan jajaran Radeon HD4000 series. Dari sisi performa, VGA berbasis RV770 memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan yang dimiliki oleh Nvidia. Dari sisi harga, salah satu varian RV770 yakni Radeon HD4850 dijual di kisaran harga yang lebih rendah dibandingkan dengan harga GeForce 8800GT. Padahal, dari sisi kinerja Radeon HD4850 memiliki kinerja yang sedikit lebih baik, terutama di resolusi dan setting detail tinggi. Di kelas menengah dan bawah, kartu grafis GeForce buatan Nvidia kini juga mulai kalah saingan.

Nvidia juga selangkah di belakang ATI (AMD) untuk urusan fitur VGA-nya. Saat Radeon sudah menggelar produk yang mendukung DirectX 10.1 yang hadir di sistem operasi Windows Vista SP1 sejak seri Radeon HD3000, GeForce masih berkutat di DirectX 10. Padahal, Nvidia yang pertamakali memperkenalkan VGA berbasis DirectX 10. Ketika mereka meluncurkan jajaran GeForce 8.

Setelah GeForce 9 hadir, performa yang ditawarkan juga ternyata tidak banyak berubah. Performa varian 9800GT-nya serupa dengan versi 8800GT. Artinya, tidak jauh lebih baik dibandingkan dengan Radeon HD4850 dari AMD. Versi terbaru, yakni GeForce GTX 280 performanya lebih baik dibanding Radeon HD 4870. Tetapi harganya kurang menarik, di atas 400 dolar AS. Bandingkan dengan Radeon HD 4870 yang umumnya dijual di kisaran harga 250-325 dolar AS.

Demikian pula untuk multimedia definisi tinggi. Radeon HD sudah mampu mendukung HDMI sejak Radeon Seri 2000. Nvidia sendiri? Meski sudah dimungkinkan pada jajaran produk GeForce 8, tapi fitur tersebut sifatnya masih opsional. Kalaupun sudah mendukung, jika ingin digunakan pengguna harus menghubungkan VGA dengan port S/PDIF di motherboard.

Bila permasalahan seputar teknologi, produksi dan inovasi tidak segera teratasi, Nvidia akan segera berada dalam masalah besar. Anda mungkin masih ingat ketika masa pada masa jaya-jayanya VIA sempat membuat produk chipset yang sangat menarik dari sisi harga dan juga memiliki performa yang cukup menawan? Ketika itu produsen utama di bidang teknologi komputer kurang gembira dengan hal tersebut. Akhirnya dengan kemampuan yang dimiliki, mereka mampu membuat VIA menyerah sampai akhirnya saat ini VIA hanya membuat chipset untuk prosesor yang ia buat sendiri seperti C3 dan C7. VIA-pun menarik diri dari peta persaingan produksi chipset untuk PC. Hanya bermain di segmen embedded system atau form factor ringkas (Mini ITX).

Di saat AMD-ATI bersiap-siap untuk menggabungkan dua teknologi yang mereka miliki, yakni prosesor dengan core grafis dalam sebuah chip, Nvidia malah berkutat dengan masalah internalnya sendiri. Konsep GPGPU yang semakin marak dibicarakan kini menjadi hal yang sukar bagi Nvidia karena mereka tidak memiliki teknologi x86 seperti yang dimiliki AMD atau Intel untuk prosesor.

Menyerahkah Nvidia? Tentu tidak. Mereka akan terus mengupayakan agar teknologi mereka semakin baik dan diterima pasar. Yang pasti, roda akan terus berputar. Suatu saat nanti, tentu mereka akan berhasil mengatasi seluruh rintangan dan bergerak kembali ke atas.

Muhammad Firman
Wartawan VIVAnews
muhammad.firman @vivanews.com

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya